Senin, 29 Juni 2015

Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Studi tentang PNPM-MP di Kota Semarang)


PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA
(Studi Tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perkotaan Di Kota Semarang)

Oleh : Munawar Noor
Abstrak
Dalam perkembangan paradigma pembangunan, dewasa ini pembangunan lebih diarahkan pada pembangunan manusia. Puncak kesadaran manusia adalah ketika sudah sampai pada keyakinan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk membangun harkat dan martabat sebagai kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu pembangunan manusia dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Kendala dan tantangan yang dihadapi pemerintah adalah keterbatasan anggaran untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara, sehingga diperlukan kemauan politik (political will)  yang cukup kuat dari pemerintah serta kemitraan (pemerintah, masyarakat, dunia usaha) untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.
Kata Kunci : paradigma pembangunan, kemiskinan, kemauan poitik, kemitraan.

 A.   Latar Belakang Penelitian
Masalah kemiskinan merupakan fenomena sosial kemasyarakatan yang terdapat di berbagai daerah Provinsi. Kabupaten/Kota di Indonesia. Oleh karena itu berbagai upaya penanggulangannya telah dilakukan Pemerintah melalui pelaksanaan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat yang langsung menyentuh kebutuhan hidup masyarakat miskin. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya pengentasan masyarakat miskin untuk mandiri baik secara ekonomi, sosial maupun aspek kehidupan yang lain, sehingga memerlukan kebijakan yang komprehensif dan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam memberdayakan masyarakat miskin tersebut.
Pengalaman lapangan banyak memberikan gambaran bahwa  kebijakan pemberdayaan masyarakat  sering menimbulkan resistensi tidak saja pada pejabat pelaksana kebijakan tetapi juga sinergitas kelembagaan program dengan pemerintah daerah serta kelompok sasaran, sehingga kebijakan tersebut tidak dapat di implementasikan secara baik. Sementara itu keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi, termasuk dalamnya adalah pemahaman kebijakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan penerimaan secara sadar oleh masyarakat (Saefullah, 2009, 42-46). 
Dalam konteks ini program bantuan langsung masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) menandai keseriusan pemerintah untuk mengubah logika pendekatan proyek menjadi program dengan melakukan konsolidasi program-program pemberdayaan masyarakat yang ada di berbagai kementerian/lembaga.
B.   Rumusan Masalah Penelitian
(1). Sejauhmana Implementasi Kelembagaan PNPM-MP Di Kota Semarang?
(2). Aspek-aspek apa penghambat dan pendorong implementasi kelembagaan PNPM-MP Di Kota Semarang ?
(3). Bagaimana formulasi model sinergitas  kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang?         
C.   Tujuan Penelitian
(1)  Melakukan deskripsi, analisis dan interpretasi implementasi kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang
(2)  Melakukan deskripsi, analisis dan interpretasi aspek-aspek penghambat dan pendorong implementasi kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang
(3)  Merumuskan formulasi model sinergitas kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang dalam pemberdayaan masyarakat
D.   Kerangka Teori
  1. Lingkup Administrasi Publik
Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan, terutama lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara, karena dalam kenyataan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah.
Faktor penyebab semakin menurunnya dominasi peran negara, antara lain : (1). Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat; (2) Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi; (3). Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya; (4). munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis (Dwiyanto, 2007).
Dewasa ini sudah banyak pembaharuan pemikiran dan perhatian dari administrasi publik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan berbagai konsep maupun implementasinya.  Salah satu bentuk perhatian yang ditunjukkan administrasi publik adalah terhadap tata kepemerintahan yang baik, yang pada gilirannya diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
  1. Pembangunan yang Berorientasi Kerakyatan
Pembangunan yang berpusat pada manusia, memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama maupun sumber utama pembangunan, nampaknya dapat dipandang sebagai suatu strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas dengan pembangunan bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi. 
Landasan berpijak pendekatan pembangunan seperti ini bukan birokrasi dan program-program serta proyek-proyek yang dirancang dan dikelola secara terpusat, melainkan program serta proyek yang dirancang masyarakat atau komunitas itu sendiri, berdasarkan kebutuhan-kebutuhannya, kemampuan-kemampuannya dan lebih luas dari semuanya adalah penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya dan nasib mereka sendiri yang merupakan suatu keberanian untuk berkomitmen di seluruh dunia dengan menempatkan  secara langsung tiga tantangan pusat pembangunan: yakni (1). pengurangan kemiskinan,  (2). perlindungan kapasitas produksi berdasarkan sumber daya lingkungan, dan (3). pemberdayaan manusia melalui peningkatan partisipasi di dalam proses pembangunan.
Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat dalam skala yang luas, tidak semata-mata mampu memenuhi kebutuhan dasar, tetapi membangun mekanisme untuk mencegah pemiskinan lebih lanjut. Sejalan dengan konsep ini, pemerintah sebagai agen perubahan  dalam melaksanakan kebijakan pemberdayaan masyarakat bertumpu pada 3 (tiga) arah tujuan, yaitu : (1). Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (2). Memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat melalui penerapan langkah-langkah nyata, (3). Melindungi dan membela kepentingan masyarakat.  
Konsep Pemberdayaan Masyarakat lahir sebagai antithesis terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada mayoritas rakyat yang dibangun sebagai kerangka logis seperti berikut : (1). Proses pemusatan pembangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi, (2). Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran, (3). Kekuasaan akan membangun system pengetahuan, sistem hukum untuk mempercepat legitimasi, (4). Kooperasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik secara sistematik akan menciptakan kelompok masyarakat  yang berdaya.
3. Kemiskinan Masyarakat
Klasifikasi dan jenis-jenis kemiskinan dalam masyarakat pada umumnya adalah
  1. Kemiskinan absolut/mutlak yaitu keadaan yang mana pendapatan kasar bulanan tidak mencukupi untuk membeli keperluan minimum;
  2. Kemiskinan relative yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara sesuatu kebutuhan dengan tingkat pendapatan lainnya;
  3. Kemiskinan struktural yaitu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan;
  4. Kemiskinan kultural yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi kemiskinan sebagai adanya budaya miskin.
Memperhatikan konsep dan pendekatan berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Pemerintah secara konseptual kesemuanya sudah mengedepankan partisipasi masyarakat dan mengutamakan pemberdayaan dalam setiap langkah kegiatannya.
Pemerintah mengambil langkah positif untuk mengintegrasikan berbagai program penanggulanan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat dalam suatu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP), ditempuh dengan cara : (1). Mengembangkan kapasitas masyarakat, terutama Rumah Tangga Miskin  dengan penyediaan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi, serta lapangan kerja. (2). Meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan, (3). Mengembangkan kapasitas pemerintahan lokal dalam memfasilitasi penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. (4). Dalam pelaksanaannya, PNPM-MP mengalokasikan Bantuang Langsung Masyarakat melalui skema pembiayaan bersama  antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan administrative yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak negative maupun positif, dengan demikian dalam mencapai keberhasilan implemetasi, diperlukan kesamaan pandangan tujuan yang hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan.(Wahab, 2005)
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan, dapat diukur dengan melihat kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi (Ekowati, dkk 2005).
Perkembangan studi implementasi mengalami pergeseran minat, dari fokus kepada ujung depan dari proses kebijakan, yakni keputusan (politik) menjadi fokus kepada tahap paska keputusan, untuk apa yang sesungguhnya terjadi setelah kebijakan disyahkan, maka dimulailah era studi implementasi.
Mengawali era studi implementasi adalah (tulisan Pressman dan Wildavsky tentang Implementation (1973)., yang membahas tentang implementasi program pembangunan ekonomi perkotaan di Aucland USA, dengan mewancarai aktor pelaksana dan mengkaji dokumen – dokumen kebijakan untuk menemukan hal – hal yang tidak beres.
Hasilnya adalah suatu pendekatan yang bersifat rasional perspektif dengan model sudut pandang Top-down. Tumbuhnya model rasional perspektif sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat kegagalannya rendah.
Pendekatan perspektif untuk persoalan implementasi hanya akan dapat bersifat terbatas pada ruang dan waktu serta permasalahan yang serupa. Padahal sebagaimana diketahui variasi masalah kebijakan yang luas, serta ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan membawa perbedaan pula dalam cara pemecahan masalahnya, oleh karena itu model Top-down kemudian diikuti oleh model sudut pandang Bottom-up dan model Sintesis.  
Pendekatan Bottom-up (Michael Lypsky, 1980) merupakan kritik atas model Top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah pada proses implemesi, karena proses politik bukan hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga tetap berlangsung pada level pelaksana tingkat bawah yang banyak menentukan tingkat keberhasilan implementasi. Dengan demikian perlu mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan dan kebutuhan para pelaksana termasuk kesulitan yang mereka hadapi.
Kemudian lahir sudut pandang Model Sintesis (Randall P. Ripley & Grace Franklin, 1982), yang memadukan kedua model sebelumnya (Top-down dan Bottom up) dengan tekanan utama yang bisa beragam, mulai pada jaringan interaksi antar aktor pelaksana sampai pada pendekatan sosiologis, dan sebagainya yang kemudian disebut sebagai teori atau model Hybrid.
Model sintesa/ hybrid ini pada hakekatnya ingin menegaskan bahwa tidak ada model perspektif yang bisa diterapkan pada setiap masalah implementasi. Tiap katagori kebijakan memiliki kekhasan tersendiri, sehingga pendekatannya pun harus disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Model sintesa ini sangat beragam mulai dari yang hanya mengemukakan variable yang dianggap mempengaruhi implementasi, untuk memepermudah pengkatagorian berbagai pendekatan studi implementasi yang muncul belakangan.
Hasil pemikiran yang berbeda-beda sebagaimana tersebut di atas melahirkan studi implementasi tumbuh dari berbagai hasil penelitian mengenai praktek implementasi pada era yang berbeda-beda, dan dengan fokus perhatian yang berbeda-beda pula.
Oleh Gogin dkk (1990) perbedaan era dan fokus tersebut dikatagorikan sebagai berikut: (1). Fokus Penelitian generasi pertama : a). Bagaimana suatu aturan diwujudkan sebagai hukum dan bagaimana suatu hukum dijadikan program, b). Menguraikan sifat kerumitan dan dinamika proses implementasi, c). Menekankan pentingnya subsistem kebijakan, d). Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hasil suatu program, e). Mendiagnosis beberapa penyakit yang sering mengganggu proses implementasi. (2). Fokus Penelitian generasi kedua: a). Jenis dan isi kebijakan, b). Organisasi pelaksana dan sumberdaya, c). Pelaksana kebijakan : sikap, motivasi, hubungan antar pribadi, komunikasi dan sebagainya, d). Hasil : pengakuan bahwa implementasi bisa berubah setiap saat, identifikasi faktor penentu keberhasilan, berbagai persoalan yang muncul, dan sebagainya. (3). Fokus Penelitian generasi ketiga: a). Bentuk komunikasi antar lembaga pemerintahan, b). Penyusunan desain penelitian, c). Mengkaji variabel-variabel prediktor dalam implementasi.
 E.    Metode Penelitian           
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif didukung metode triangulasi dalam analisisnya, lokasi penelitian kota Semarang yang meliputi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan berdasarkan sampel bertujuan.
Sebagai informan adalah pengelola program Tingkat Kota, Kecamatan, Kelurahan dan masyarakat miskin yang tergabung dalam Kelompok Swadaya masyarakat.
F.    Temuan Penelitian :
  1. Dalam implementasi kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang, dalam banyak hal berjalan baik, namun masih terdapat kelemahan antar lain : 
    1. Peran masyarakat sebagai pihak yang  dianggap hanya sebagai alat bantu dari mekanisme keproyekkan, artinya secara terdogma pelaksanaan kegiatan PNPM-MP harus lebih baik,  padahal kondisi masyarakat memiliki dinamika tersendiri yang dipengaruhi oleh faktor internal (BKM, KSM), untuk memaksimalkan konsep Tridaya.  .
    2. Penerima manfaat langsung dari PNPM-MP harus mampu melakukan transformasi sosial yang luar biasa dengan menjadi masyarakat pembangunan (daya lingkungan), masyarakat efektif (daya sosial) dan masyarakat produktif (daya ekonomi).
    3. c.    Proses pembelajaran yang mengedepankan internalisasi prinsip dan nilai PNPM-MP dengan intervensi tahapan siklus  dipandang sebagai formalitas semata untuk memenuhi kebutuhan proyek.

  1. Aspek penghambat program di lapangan adalah :
    1. Koordinasi kelembagaan kurang diikuti dengan peningkatan kapasitas dan perubahan paradigma dari masing-masing stakeholder dalam melihat PNPM-MP sebagai program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
    2. Penjabaran kebijakan dan penganggaran di tingkat masyarakat belum secepat yang diharapkan, karena berbagai keterbatasan tersebut dan tidak ada sinergi kebijakan dengan kemauan masyarakat
    3. Pengorganisasian sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai media peningkatan kapasitas  proses berpikir kritis masyarakat  seringkali tidak mendapatkan porsi yang layak dalam realitas dampingan,sehingga sinergi sumber daya manusia dengan program belum optimal
G.   Formulasi Model Sinergitas Kelembagaan sebagai rekomendasi.
Hasil kajian implementasi kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang melalui : sinergi kelembagaan, siklus PNPM-MP dan aspek-aspek penghambat/ pendorong implementasi kelembagaan PNPM-MP pada tataran empirical theory menunjukkan adanya kelebihan dan kelemahan.
Memanfaatkan kelebihan dan mengusulkan perbaikan kelemahan serta memperhatikan tanggapan informan pada waktu diselenggarakan FGD, maka dapat diusulkan model sinergitas kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang seperti gambar berikut :
 Formulasi Model Sinergitas Kelembagaan PNPM-MP
yang direkomendasikan
Image

Sumber : ( Analisis Penulis).
Usulan Model Sinergitas Kelembagaan PNPM-MP di Kota  Semarang di atas berdasarkan pertimbangan :
  1. Usulan Model Sinergitas Kelembagaan diharapkan mampu memberikan kesempatan BKM untuk mengakses peluang kemitraan dan channeling pada tataran kementrian dengan basis Tri-Daya (Lingkungan, Sosial, Ekonomi).
  2. Dalam model sinergitas kelembagaan alternatif menunjukkan peran PJOK sebagai pengendali kegiatan PNPM-MP tingkat kecamatan memiliki peran yang sama dengan TKPKD dalam memperkuat sinergitas kelembagaan yang akan dilakukan di tingkat kelurahan/masyarakat/BKM.
  3. BKM dalam penentuan target penerima manfaat kegiatan, melakukan sinergi kelembagaan yang mengarah pada pengembangan Tri-Daya (Lingkungan, Sosial, Ekonomi), karena tanpa sinergitas kelembagaan akan menjadikan kebijakan yang bersifat parsia.
  4. Kemitraan dan channeling BKM bisa datang dari Kementrian, Perbankan, bahkan dari internal BKM sendiri, misalnya dengan KSM-KSM binaan, Lembaga Kelurahan dengan membentuk Forum Lintas Pelaku. Dengan demikian BKM menjadi lembaga masyarakat yang dapat menerima segala macam program dari luar, karena substansi BKM adalah Lembaga Amanah Warga yang dibentuk untuk merepresentasikan nilai luhur kemanusiaan serta untuk membangun kekuatan modal sosial masyarakat.
  5. Persoalan teknis yang terkait dengan operasional kegiatan program lain, dapat dibentuk oleh BKM, organ-organ tambahan dalam struktur organisasi seperti Unit Pengelola atau KSM dan sebagainya.
  6. Sinergitas kelembagaan ini merupakan sebuah dokumen yang menjadi Rencana Aksi yang lebih praktis dalam bentuk PJM Pronangkis Kota, yakni sebuah langkah operasional taktis dari SPKD (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah).
  7. Peran yang lebih besar dan strategis ada di TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) sebagai arsitek peta jalan penanggulangan kemiskinan yang terstruktur dan berkelanjutan karena secara politis relatif kuat, diketuai oleh Wakil Walikota.
  8. Dalam kerangka untuk mewujudkan peran dan partisipasi masyarakat dalam good governance, proses ini melibatkan Forum BKM Kota/Kecamatan dan KBP (Komunitas Belajar Perkotaan), wadah relawan kota yang berkomitmen terhadap penanggulangan kemiskinan.
  9. Usulan Model Sinergitas Kelembagaan PNPM-MP di Kota Semarang diharapkan dapat dijadikan persiapan untuk memasuki masa phasing out program dan alih kelola program, karena sangat diperlukan kebijakan yang strategis untuk melakukan proses tranformasi masyarakat dari tidak berdaya (miskin) àmasyarakat berdaya àmasyarakat mandiriàmasyarakat madani dalam target waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Edward III, George. 1980. Implementing Public Policy, Washsington DC, Congressional Quartely Press.
Effendi.Sofyan, 1993. Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangunan. Gadjah Mada Univesity Press, Yogyakarta
Emzir, (2011), Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data, Rajawali Press, Jakarta
Esman, Milton J. 1991. Management Dimensions of Development : Perspective and Strategies, Connecticut : kumarian Press
Esmara, Hendra, 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta Gramedia
Grindle, Merille S. (ed), 1980, Politic and Policy Implementation in the Third Word, New Jersey : Princeton University Press.
Keputusan Menko Kesra Nomor 25/Kep/Menko/Kesra/VII/2007, tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Korten, David. C. 1984. Pembangunan yang Memihak Rakyat. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Korten, D C, Sjahrir, (1988), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundangan :
Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun2010 Tentang percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Soetomo, (2011), Permberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Soetomo,(2010), Masalah Sosial dan Upaya Pemecahanya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Stewart, Aillen Michell. 1998. Empowering People, Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Alih Bahasa Agus M. Harjana. Yogyakarta: Kanisius
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial, Pedoman Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Tahun 2007/2008
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah
Pedoman PNPM-Mandiri :
Dokumen Rencana Stategi Kemiskinan (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kota Semarang-SPKD), Bappeda Kota Semarang, 2011-2015
Dokumen Renstra Kemiskinan Kota Semarang, Bappeda Kota Semarang, 2011-2015
Pedoman Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Tahun 2012
Pedoman Teknis dan Pedoman Operasional Baku Rembug Warga Tahunan (RWT) PNPM-Mandiri, 2009
Pedoman Teknis Penyusunan PJM Dan Ren-Ta Pronangkis, PNPM-Mandiri, 2009

Journal :
Community Empowerment Through Group Apprach (Case Study of Poor Communities Through Kube Approach), Joyakin Tampubolon, Basita Ginting Sugihen, Margono Slamet, Djoko Susanto da Sumardjo. !SSN : 185-2664, Juni 2006, Jurnal Vol. 2 No. 2 Institut Pertanian Bogor;
Decentralization and Community Empowerment : Does Community Empowerment Deepen Democracy and Improve Service Delivery? Derick W Brinkerhoff with Omar Azfar. Oktober 2006, Paper Prepared for : US Agency for International Development Office of Democracy and Govermence, Contract No.DFD I-00-05-00128-00 Task Order No. 2
Peran Negara Dalam Penguatan Program Pemberdayaan Masyarakat, Aris Munandar, Jurnal Politik, Volume 4/No. 1/2008
Community Empowerment Strategis : The Limits and Potential of Community Organizing in Urban Neighborhoods, Peter Dreier, Ocerdental College, diunduh Januari 2012
The Theoritical and Conceptual Framework and Application Of Community Empowerment and Participation in Processes of Community Development in Malaysia, Asnarulkhadi A samah & Faribarz Aref, Journal of Amareca Sciance 2011 :7 (2) http://www.americanscience.org
Conceptualizing Community Empewerment, Zaki Mehchy (z.mehchy@syriatrust.org) and Nader Kabbani, Draft : Juni 6,2007
Empowerment as an Approach for Community Development in Malaysia, Asnarulkhadi Abu Samah & Faribarz Aref, Depatement of Social and Development Science, Fakulty of Human Ecology Putra University, Malaysia, Word Rure Observations, 2009 : 1(2) :63-68
Contribution og NGO’S Functions to Empowerment of Women in Shiraz, Iran, Hedayat Allah Nikkhah, Mustafa Zhairina, Depatement of Social Science Hormozgan-Bandar-e Abbas-Iran (Life Science Journal, 2011 : 8(4), http://www.lifesciencesite.com
Dikotomi Kualitatif-Kuantitatif dan Varian Paradigmatik dalam Penelitian Kualitatif, Dedy N Hidayat, jurusan Komunikasi, Fisip Universitas Indonesia, Depok, Jurnal Ilmiah Sciiptura Vol. 2 No. 2 Juli 2008
Community Participation Improvement on Empowerment National Program of Urban Autonomous Communities, Case Study : Tlogomas Sub-district, Lowokwaru District Malang Manicipality (Melly Septiani, Ispurwono Soemarno, Heru Purwadio), Seminar Nasional perumahan, Pemukiman dalam pembangunan Kota, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar